Dari Abu Qatadah Radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersababda, “Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa Asyura (10 Muharram ) akan menghapus dosa yang setahun yang lalu.” (HR. Muslim, no. 162)
Apa saja keutamaan Puasa Arafah menurut Hadist diatas?
- Hadist ini menunjukkan keutamaan puasa arafah , dan besarnya pahala puasa tersebut pada sisi Allah SWT. karena di sebutkan pahalanya dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
- Puasa Arafah di perihtahkan untuk orang yang tidak berhaji sedangkan orang yang sedang melaksanakan haji tidak disunnahkan untuk melakukannya, karean Rasulullah ketika berhaji beliau tidak melakukan puasa Arafah.
- Boleh melakukan Puasa Arafah pada hari jumat walaupun berpuasa di hari jumat saja tanpa di ikuti oleh hari sebelummnya dan hari setelahnya. Begitu pula pada hari sabtu, karena puasa Arafah pada hari sabtu ada sebab.
- Dosa yang terampuni adalah dosa kecil, adapun dosa besar misalnya seperti zina, makan riba, sihir, dan lainnya mesti dihilangkan dengan tobat yang sesungguhnya, tidak cukup hanya melakukan amalah shaleh saja. Demikina pendapat dari jumhur atau kebanyakan ulama. Namun syaikhu Islami Ibnu Taimiyah berpendapat dosa di sini adalah dosa kecil dan dosa besar, sebagaiman beliau bependapat dalam Majmu’ah Al-fatwa, 7:489.
- Disunnahkan bagi setiap muslim untuk semangat pada hari Arafah karena berharap doa-doanya diijabah (dikabulkan), karena kondisi orang yang berpuasa juga adalah kondisi mustajabnya doa. Doa ketika berbuka puasa adalah doa yang lebih mudah untuk dikabulkan.
- Disunnahkan bertakbir ba’da shalat Shubuh pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga hari tasyrik yan terakhir (13 Dzulhijjah, pada waktu ashar).
Imam Ahmad rahimatullah pernah ditanya, ” Hadist apa yang mendukung amalan takbir dari shalat shubuh pada hari Arafah hingga hari tasyrik yang terakhir?” Jawab beliau ” Dalilnya adalah ijmak (kata sepakat para ulama), didukung dengan pendapat Umar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhum. Lihat Al-Mughni, 3:289 Al-Majmu’ Nawawi, 5:35.