
Secara esensi (ontologis), setiap orang pada hakekatnya adalah guru yang harus memiliki kepribadian mulia dan menjadi teladan bagi yang lain. Orang tua dalah guru bagi anak-anaknya. Pemimpin adalah guru bagi rakyatnya. Kakak adalah guru bagi adiknya. Bahkan setiap diri adalah guru bagi dirinya sendiri. Secara epistemologi, guru adalah sebuah profesi pedagogis yang harus memenuhi berbagai persyaratan khusus. Sementara secara aksiologis, guru adalah orang yang sarat nilai kebajikan.
Salah satu nilai kebaikan yang harus melekat dalam diri seorang guru adalah nilai keikhlasan. Ikhlas adalah persoalan hati. Keikhlasan adalah refleksi kemuliaan seseorang. Orang yang ikhlas tidak pernah bekerja dengan ukuran imbalan materi yang diterima. Dia akan tetap bersungguh-sungguh bekerja sekalipun dia mendapatkan imbalan yang sedikit.
Orang yang ikhlas akan tetap bersungguh-sungguh sekalipun hanya sebagai bawahan apalagi sebagai atasan. Bekerja dengan penuh ikhlas tidak pernah mendasarkan kesungguhannya karena jabatan, materi, pujian orang lain, atau karena faktor-faktor lain. Sebab nilai keikhlasan adalah transaksi manusia dengan penciptanya, bukan antarmanusia.
Ikhlas termasuk amal hati yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang bersangkutan dan Tuhannya. Menjadi guru yang ikhlas itu tidak mudah. Menjadi ikhlas membutuhkan waktu dan kesungguhan. Jika seseorang telah sampai pada martabat dan kemampuan untuk menyembunyikan segala kebaikan, maka dirinya telah memiliki sikap ikhlas.
Al Qurtubi berkata, “Al-Hasan pernah ditanya tentang ikhlas dan riya, kemudian ia menjawab, ” Di antara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu”. Abu Yusuf berkata, “Mas’ar telah memberitahukan kepadaku dari Saad ibn Ibrahim, ia berkata, “Mereka (para sahabat) menghampiri seorang laki-laki pada perang al Qadisiyah.
Laki-laki itu kaki dan tanganya putus, ia sedang memeriksa pasukan seraya membacakan firman Allah : “Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Yaitu nabi-nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman-teman yang terbaik” (QS. Annisa : 69).
Seseorang itu bertanya kepada laki-laki itu, “Siapa engkau wahai hamba Allah. Dia menjawab, “Aku adalah salah satu dari kaum Anshor”. Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya. Inilah fragmen tentang nilai keikhlasan.
Kerja ikhlas adalah bentuk usaha terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan kesucian hatinya sebagai manifestasi kemuliaan dirinya dihadapan Allah semata. Kesucian hati seorang guru sebagai energi diri dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan. Seorang guru yang ikhlas akan selalu membuang energi negatif dalam hatinya. Dari sinilah akan muncul hubungan baik dengan para anak didiknya.
Guru ikhlas tidak pernah mengeluh, baginya tidak ada waktu yang sia-sia dan mubazir bagi seorang guru ikhlas. Pada saat mengajar, dia mencurahkan fisik, pikiran dan hatinya seratus persen agar dia bisa memberikan kontribusi yang terbaik bagi anak didiknya. Ketulusan orang tua mendidik anak-anaknya adalah cermin keikhlasan dalam pendidikan.
Seorang guru yang ikhlas akan secara sungguh-sungguh mengajar dan memberikan bimbingan kepada para siswanya dengan cara mencurahkan semua energi positif yang dia miliki hingga mengantarkan para siswanya menjadi anak yang berprestasi dan berkualitas serta berguna bagi orang lain.
Seorang guru yang ikhlas tidak pernah mengeluh kepada manusia, sebab dia hanya berharap kepada ridha Allah. Kesungguhan dalam mengajar sebagai refleksi jiwa keikhlasan akan membuahkan hasil yang optimal. Keikhlasan akan mendapat apresiasi dari Allah sebagai amal sholeh.
Guru yang ikhlas kelak akan dipercaya oleh orang lain untuk mendapatkan amanah yang lebih tinggi. Guru yang ikhlas adalah guru yang melaksanakan tugas tanpa beban, berprestasi tinggi, penuh dedikasi, selalu menjadi yang terbaik, dan selalu memberikan energi positif kepada orang lain. Sebaliknya kemalasan, mengajar penuh beban hingga stress, tidak pernah berprestasi, penuh tekanan batin adalah refleksi ketidakikhlasan.
Keikhlasan akan diapresiasi oleh Allah apalagi oleh manusia, hal ini akan berjalan mengikuti. Keikhlasan dalam beramal akan diikuti oleh rejeki yang berkah. Sebab keikhlasan akan mendatangkan pertolongan dan kemudahan dari Allah SWT. Jika Allah telah memberikan kemudahan dan ridho-Nya, maka siapapun tidak akan pernah bisa menghalanginya.
Guru yang ikhlas akan mendapatkan keberkahan hidup dari Allah SWT. Keberkahan adalah limpahan rejeki yang membawa kepada kebahagiaan hidup dunia akherat. Rejeki adalah semua kebaikan yang dilimpahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Jika Allah saja mengapresiasi amal yang dilakukan dengan ikhlas, apalagi manusia. Maka sudah selayaknya dalam hal ini pemerintah mengapresiasi kerja-kerja pendidikan. Guru adalah tiang bagi masa depan generasi bangsa ini. Keikhlasan tidaklah mampu diukur dengan materi.
Andai guru sekolah dasar di Indonesia digaji 100 juta perbulanpun belum bisa menggantikan nilai keikhlasan tersebut. Jika guru SMP dan SMA diapresiasi pemerintah dengan 200 juta perbulan, maka tidak akan mampu menjadi pengganti nilai keikhlasan hatinya. Jika dosen diapresiasi 300 juta perbulan, maka tak akan mampu juga menggantikan jiwa ikhlasnya.
Bahkan andai guru di negeri ini diberi penghargaan ratusan juta perbulan, apakah cukup bisa menggantikan perannya bagi suatu bangsa dan masa depan peradabannya ?. Idealnya negara memberikan penghargaan seorang guru melebihi penghargaan kepada seorang presiden, wapres, staf khusus presiden, menteri, kapolri, gubernur, bupati dan direktur BUMN. Sebab tanpa guru, mereka tak akan pernah ada. Itu idealnya, tapi tidak dengan realitanya.
Ada beberapa ciri keikhlasan seorang guru. Pertama, guru berbuat baik bukan karena ingin dipuji, hendak cari nama, atau mendapatkan penghargaan. Dipuji, dihargai, atau bahkan dicaci, sama saja bagi seorang guru yang ikhlas. Yang penting ridha Allah SWT, itu sudah cukup. Guru ikhlas tak silau pujian dari manusia. Oleh karena itu, guru yang ikhlas tak bisa diperbudak penghargaan dalam bentuk perkataan, perhatian, pemberian fasilitas dan tanda jasa, dan lain sebagainya. Firman Allah SWT, “Dan, apa saja harta yang kamu nafkahkan maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan, janganlah kamu membelanjakan (harta) untuk tujuan selain mencari keridhaan Allah semata.” (QS al-Baqarah: 272).
Kedua, ikhlas itu tidak pamrih. Amalan seorang guru dikategorikan ikhlas jika dalam melaksanakan amalnya ia tidak mengharapkan untuk mendapatkan sesuatu, seperti pangkat, jabatan, atau kedudukan (QS al-Insan: 9). Guru ikhlas yakin setiap orang akan dinilai dari tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya. Maka, guru yang ikhlas tak ujub karena pangkat dan kedudukannya, dan tak rendah diri pula karena tak punya posisi dan jabatan yang tinggi.
Ketiga, guru ikhlas konsisten berbuat baik dan memiliki perasaan nikmat dalam berbuat kebajikan. Guru yang ikhlas akan sibuk beramal baik meskipun membutuhkan pengorbanan harta, pikiran, tenaga, bahkan nyawa sekali pun. Karena baginya, semua amal baik itu adalah investasi terbaik untuk kehidupan di akhirat kelak. Firman Allah SWT, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan amal kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS al-Anbiya: 90).
Ikhlas adalah sifat baik yang mudah diucap tapi sulit dilakukan. Disiplin saat di depan murid dan kepala sekolah, tetapi tidak peduli waktu saat sendiri. Berapi-api saat menyuruh murid belajar, tapi guru sendiri malas belajar. Dipuji senang, ditegur tidak terima dan sempitlah dada. Senang melihat guru lain susah dan susah melihat guru lain senang. Tanya pada nurani, sudahkah kita jadi pribadi guru yang ikhlas? Wallahu a’lam.