
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّلِيَعْبُدُاللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…[Al-Bayyinah/98 : 5]
Segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam Shalawat dam salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam Pembawa risalah yang haq ini sebagai rahmat bagi semesta alam kepada keluarganya para shahabatnya dan orang-orang yang setia mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
Berikut ini adalah pembahasan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan pentingnya “keikhlasan” dalam seluruh amal
ibadah. Sesungguhnya perkara paling mendasar dan terpenting dalam dien ini adalah mengikhlaskan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan, hal itu sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah. Ikhlas adalah termasuk amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian “istimewa” (secara mendalam) dan dilakukan dengan cara “istimrar” (terus menerus) di setiap kita hendak melakukan amal
ibadah, agar amalan kita menjadi bernilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
PENTINGNYA AMALAN HATI.
Telah kita ketahui bahwa pengertian iman menurut Ahlus Sunah adalah : Keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan seluruh anggota badan, bertambah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Perlu diketahui bahwa ikhlas adalah perkara terpenting dalam amalan hati, yang hal tersebut sangat erat hubungannya dengan pengertian iman tersebut di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Amalan-amalan hati adalah termasuk pokok-pokok dari keimanan dan tonggak-tonggak agama Islam ini, seperti: mencintai Allah dan Rasul-Nya, bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengikhlaskan seluruh macam ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat-Nya dan berlaku sabar di atas hukum-hukum-Nya, khauf (perasaan takut kepada-Nya akan siksa atau adzab-Nya), raja
(berharap) kepada-Nya…Semua amalan ini wajib atas seluruh makhluk berdasarkan kesepakatan para imam agama”.[1]
Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan amalan-amalan hati : Amalan–amalan hati ialah pokok adapun amalan–amalan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan dengan ruh, adapun amalan sekedudukan dengan jasad, sehingga apabila ruh telah terpisah dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu mengetahui hukum – hukum hati lebih penting dari pada mengetahui hukum-hukum jasad.[2]
Hal inilah di antaranya yang mendorong kami untuk mengulas hal ini agar seluruh aktifitas kita sehari-hari tidak menemui kesia-siaan, yakni hampa, jauh dari berkah Allah atau Ramat-Nya, seolah-olah tiada nilainya aktifitas yang kita laksanakan setiap hari.
Niat berasal dari bahasa Arab, yang berarati tujuan. Sedangkan menurut istilah syara’ memiliki dua arti:
- Ikhlash dalam beramal, yaitu semata-mata karena Allah, dan inilah yang sering dibicarakan oleh para Ulama ahli tauhid, suluk (perilaku) dan akhlak.
- Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, atau ibadah dengan kebiasaan. Istilah ini sering dipakai oleh ulama-ulama Fiqh.
Niat dipakai untuk membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan yang dilakukan oleh manusia), misalnya : Mandi, apabila dimaksudkan (niatkan) karena Allah semata untuk menghilangkan hadats besar (mandi junub misalnya) maka hal yang semacam itu akan menjadi ibadah, lain halnya apabila mandi semata-mata dimaksudkan untuk membersihkan badan atau mendapatkan kesegaran, maka hal itu menjadi adat (kebiasaan) saja.
Kemudian bahwa niat itu tempatnya di hati.
KEDUDUKAN IKHLAS.
Sesungguhnya ikhlas adalah hakekat dien dan kunci dakwah para rasul, yakni menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan menjauhi thagut :
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…[Al-Bayyinah/98: 5]
Yang dimaksud dengan ” (حُنَفَاءَ ) agama yang lurus” pada ayat di atas adalah terjauhkan dari perkara-perkara syirik dan menuju kepada tauhid. Di sinilah pentingnya ikhlash dalam selurus amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan tidak mendapat adzab dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kemudian bahwa pengaruh ikhlas terhadap amalan itu sangatlah besar, amal yang kecil dan sedikit jika dilakukan dengan ikhlas dapat memperoleh pahala yang besar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam perkara ini mengatakan: “Suatu jenis amalan yang dikerjakan oleh manusia dengan menyempurnakan keikhlasannya dan ketundukkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terkadang Allah Subahnahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa besar dengan sebab amalan itu, sebagaimana hadits al-bithaqah (seorang yang memiliki satu kartu Laa ilaaha illa Allah, lalu diampuni dosa-dosanya sebanyak 99 lembaran catatan amal keburukan-red)…ini karena dia mengucapkan Laa ilaaha illa Allah dengan ikhlas dan jujur/benar, karena kalau tidak, maka para pelaku dosa besar yang masuk ke dalam neraka semuanya juga mengucapkan tauhid, tetapi perkataan mereka tidaklah lebih berat terhadap dosa-dosa mereka sebagaimana pemilik kartu (Laa ilaaha illa Allah) itu.”